Perang Mu'tah dan Pedang Allah

Tiga bulan setelah ketibaannya di Madinah, Khalid memperoleh kesempatan untuk menunjukkan kemampuannya sebagai seorang prajurit dan seorang panglima.

Muhammad telah mengirimkan diplomat kepada pemimpin Ghassan di Kota Busra. Diplomat ini membawa surat yang berisi ajakan untuk masuk Islam. Namun ketika diplomat ini tiba di Mu'tah, ia ditahan dan dibunuh oleh salah seorang pemimpin Ghassan lokal bernama Syurahbil bin Amr. Pembunuhan ini adalah tindakan kriminal internasional yang sangat biadab karena seorang diplomat memiliki imunitas dari serangan apapun. Berita ini tiba di Madinah dan disambut dengan kemarahan.

Sebuah ekspedisi disiapkan untuk menghukum Ghassan dan Muhammad menunjuk Zayd bin Haritsah sebagai panglima pasukannya. Muhammad menunjuk Ja'far bin Abi Thalib menjadi pengganti Zayd jika Zayd terbunuh. Sedangkan Abdullah bin Rawahah ditunjuk untuk mengganti Ja'far jika Ja'far terbunuh juga. Muhammad juga berpesan bahwa jika ketiga orang ini terbunuh, pasukan harus menunjuk pemimpinnya sendiri di antara mereka.

Pasukan ekspedisi ini terdiri dari 3.000 orang, salah satunya adalah Khalid. Tujuan ekspedisi ini adalah untuk mencari dan membunuh orang yang bertanggung jawab atas pembunuhan diplomat, serta menawarkan Islam kepada masyarakat Mu'tah. Saat pasukan ini dikirimkan, mereka tidak mengetahui jumlah pasukan musuh yang akan mereka hadapi.

Semangat mereka sangat tinggi ketika pasukan mulai bergerak dari Madinah. Ketika mereka mencapai Ma'an, mereka menerima laporan bahwa untuk pertama kalinya, Heraklius, Kaisar Romawi Timur, telah berada di Yordania dengan 100.000 pasukan asli Romawinya dan telah bergabung pula dengan 100.000 orang pasukan Arab Kristen yang mayoritas berasal dari Ghassan. Pasukan Madinah bertahan di Ma'an untuk dua malam memikirkan apa gerakan mereka selanjutnya. Mereka sangat khawatir dan ragu-ragu. Sebagian berpendapat mereka harus meminta perintah dari Muhammad terlebih dahulu sebelum bergerak lebih jauh. Tetapi Abdullah bin Rawahah, orang ketiga di pasukan itu tidak setuju karena akan mengakibatkan penundaan yang terlalu lama dan akan memberikan kesan bahwa muslim ketakutan. Perkataan yang cukup terkenal ia katakan, "Manusia berperang bukan dengan jumlah atau senjata, tetapi dengan iman. Dengan pergi ke pertempuran, kita punya satu pilihan antara dua alternatif kemenangan: kemenangan atau mati syahid." Perkataannya ini menghapus keraguan dari pikiran pasukan muslim dan mereka pun melanjutkan perjalan mereka ke Syams.

Pasukan muslim tiba di perbatasan Syams, Balqa, sebelah timur Yordania. Mereka bertemu dengan pasukan Arab Kristen di sana. Melihat lokasi yang tidak cocok untuk pertempuran, muslim mundur ke Mu'tah. Pasukan Arab Kristen mengikuti dan mereka bertemu kembali di Mu'tah. Kedua belah pihak memutuskan untuk bertempur. Saat itu adalah minggu kedua September 629 M- minggu ketiga Jumadil Awwal 8 H.

Zayd membariskan pasukannya dalam pola normal: sebuah pasukan tengah dan dua sayap. Sayap kanan dipimpin oleh Qutbah bin Qatadah dan sayap kiri dipimpin oleh Ubaya bin Malik. Zayd sendiri memimpin pasukan tengah dan Khalid berada dalam pasukan ini. Medan pertempuran terbentang 1,61 km ke timur Desa Mu'tah modern. Tanah di sini datar, tetapi memiliki sebuah lokasi yang bergelombang, dan lereng sebuah bukit kecil terbentang di belakang pasukan muslim yang menghadap ke utara.

Arab Kristen dipimpin oleh Malik bin Zafila membariskan diri mereka dalam barisan yang memadat. Beberapa ahli sejarah memperkirakan jumlah mereka sekitar 100.000 orang, sedangkan yang lain menganggap jumlahnya dua kali lipat dari jumlah tersebut. Perkiraan ini sangat jelas merupakan kekeliruan. Jumlah pasukan musuh kemungkinan berjumlah 10.000-15.000 pasukan. Dalam pertempuran ini, pasukan muslim gagal meraih kemenangan. Jika saja pasukan musuh berjumlah dua kali lipat dari jumlah ini, tidak diragukan lagi mereka bisa menghancurkan pasukan muslim.

Pertempuran dimulai. Kedua pasukan dengan cepat bertemu dalam pertempuran jarak dekat. Kejadian ini secara esensi lebih merupakan sebuat pertempuran keberanian dan stamina daripada keterampilan militer. Panglima pasukan muslim sendiri langsung turun dalam pertempuran, bertarung sambil memegang bendera pasukannya, dan tidak lama kemudian ia terbunuh. Ja'far segera menggantikannya dan mengangkat kembali bendera pasukan. Ja'far pun kemudian terbunuh dengan sejumlah luka berat yang dialaminya. Keadaan ini membuat moral pasukan muslim turun mengingat Ja'far adalah sepupu Muhammad, pemimpin mereka. Namun ketika Abdullah bin Rawahah mengangkat bendera pasukan, keadaan kembali normal. Abdullah bertempur sampai ia juga terbunuh.

Dengan terbunuhnya Abdullah, kekacauan di tubuh pasukan muslim memuncak. Sebagian kecil mundur dari medan pertempuran, tetapi masih menunggu tidak jauh dari sana. Sebagian lainnya terus melawan sekuat mungkin dalam kelompok-kelompok kecil tidak beraturan. Untungnya, musuh tidak memanfaatkab kesempatan ini untuk menekan habis. Kemungkinan aksi berani dari pasukan muslim dan ketiga jenderalnya yang telah gugur membuat musuh agak berhati-hati dan tidak berani menekan lebih dalam.

Bendera yang jatuh ketika Abdullah gugur diangkat kembali oleh Tsabit bin Arqam, ia berteriak, "Hai Muslimin, tunjuklah salah seorang di antaramu untuk menjadi pasnglima." Ia kemudian melihat Khalid yang berdiri di sampingnya. Tsabit menawarkan bendera pasukan kepada Khalid. Khalid sadar bahwa dirinya adalah seorang yang baru saja masuk Islam dan merasa bahwa Tsabit lebih baik darinya. Khalid berkata, "Engkau lebih berhak daripadaku." Tsabit menjawab, "Jangan aku! Dan tidak ada lagi selain Engkau." Ini merupakan angin segar bagi pasukan muslim karena Khalid merupakan seorang yang sangat bisa diandalkan dalam hal militer. Seluruh muslim di sekitar mereka menyetujuinya, diikuti oleh seluruh pasukan muslim. Khalid pun akhirnya menerima bendera dan mulai memimpin pasukannya.

Situasi semakin serius dan sangat mudah bagi muslim untuk dikalahkan secara total dalam kondisi tersebut. Khalid berhasil mengontrol sebagian kecil pasukan dan membariskannya dalam barisan teratur. Ia menghadapi tiga pilihan: 1) mundur dan menyelamatkan muslim dari kehancuran, tetapi ini akan dianggap sebagai kekalahan dan ia akan disalahkan sebagai pembawa aib bagi pasukan muslim; 2) terus bertahan dan bertempur, dengan konsekuensi berupa kekalahan jika dilihat dari jumlah pasukan; dan 3) menyerang dan membuat musuh kehilangan keseimbangan, kemudian mengulur waktu untuk mempelajari situasi lebih jauh, merencanakan tindakan paling tepat. Khalid memilih pilihan ketiga.

Pasukan muslim menyerang secara tajam di sepanjang front. Mereka menusuk ke depan dengan Khalid sebagai pemimpinnya. Contoh yang diberikan oleh Khalid mendorong keberanian muslim dan pertempuran semakin ganas. Qutbah, panglima sayap kiri muslim, berhasil membunuh panglima perang musuh, Malik, dalam sebuah duel. Hasilnya cukup menguntungkan bagi muslim. Musuh bergerak mundur dengan kebingungan. Namun tidak lama kemudian, mereka berhasil kembali mereorganisasi pasukannya. Saat itu, Khalid telah menggunakan pedangngnya yang kesepuluh, sembilan pedangnya telah patah dalam beberapa pertarungan yang sangat keras.

Melihat mundurnya pasukan musuh, Khalid menahan gerak pasukannya dan menarik pasukannya sedikit ke belakang. Kedua pasukan sekarang berada dalam jarak jangkauan anak panah. Kedua belah pihak sedikit beristirahat dan bereorganisasi. Dalam putaran terakhir tadi, pasukan muslim unggul dengan jumlah korban terbunuh dipihak mereka hanya 12 orang. Tidak ada catatan tentang jumlah korban tewas di pihak musuh, tetapi diperkirakan jumlahnya sangat banyak. Namun situasi masih tidak menguntungkan dan bahkan tidak ada prospek kemenangan bagi muslim. Khalid telah menghindarkan diri dari kekalahan total dan berdarah. Ia telah menyelamatkan muslim dari aib dan bencana kekalahan ketika muslim kehilangan tiga panglimanya. Malam harinya, Khalid mundur bersama pasukannya dari Mu'tah dan mulai bergerak ke arah Madinah.

Berita tentang kembalinya mereka sampai ke Madinah. Muhammad dan warga muslim Madinah lainnya menunggu mereka di batas kota. Para muslim sedang dalam keadaan marah karena sejak Pertempuran Uhud, mereka tidak pernah memutuskan kontak dengan musuhnya dan membiarkan musuh menguasai medan pertempuran. Ketika pasukan tiba di Madinah, warga muslim Madinah menyambut mereka dengan lemparan pasir ke arah wajah pasukan dengan teriakan, "Hei Kalian yang melarikan diri! Kalian telah melarikan diri dari jalan Allah." Muhammad menahan kemarahan mereka dengan berkata, "Mereka tidak melarikan diri. Mereka akan kembali bertempur, insya Allah (jika Allah menghendaki)." Kemudian Muhammad mengangkat suaranya dan berkata, "Khalid adalah pedang Allah."

Dalam perkembangan waktu, sentimen terhadap Khalid mereda dan muslimin menyadari kebijaksanaan militernya dalam Pertempuran Mu'tah. Khalid sekarang dikenal sebagai Sayfullah 'Pedang Allah'.

Beberapa ahli sejarah menggambarkan Pertempuran Mu'tah sebagai kemenangan pasukan muslim; yang lain beranggapan sebaliknya. Namun dalam faktanya, bukan keduanya yang terjadi. Pertempuran ini berakhir dalam keadaan seri; namun seri dengan keuntungan di pihak Arab Kristen karena muslim meninggalkan medan pertempuran. Pertempuran ini bukanlah pertempuran besar dan bukan sebuah pertempuran yang sangat penting. Namun, pertempuran ini merupakan kesempatan yang sangat bermanfaat bagi Khalid untuk menunjukkan keterampilannya sebagai panglima; dan ia pun memperoleh gelar Pedang Allah.

sumber

Komentar